Lagu ‘Ain’t wort the whiskey-Cole swindell’ yang diputar ditempat pertemuan kami, sementara kami masih saja diam tanpa suara sambil sesekali memainkan gagang cangkir. Di hadapanku perempuan manis yang teramat sangat aku rindu, kepalanya dibaluti hijab bermotif bunga, nampak begitu anggun dengan stelan berwarna biru langit yang menutupi lekuk tubuhnya.
Suasananya begitu kaku, tidak seperti yang selalu kami lalui bersama saat dulu, membicarakan apa saja yang terlintas dipikiran, mengomentari apapun yang nampak terasa janggal. Lalu tertawa selepas mungkin setelahnya.
Sepuluh tahun sudah berlalu, setelah aku memutuskan untuk melanjutkan study di negara sebrang, kami sudah tak lagi berkomunikasi, terakhir kali di pertemuan kami, masih ditempat ini, ia hanya katakan bahwa ia akan menunggu. Itu saja. Aku tak banyak tahu apa yang terjadi setelah itu.
Hanya saja aku lupa, mungkin waktu itu aku terlampau ingusan untuk mengerti kehidupan. Bahwa tidak segala hal bisa dipaksakan. Bahwa hidup tak selamanya merestui apapun yang aku harapkan. Setelah semua ini diantara lirik-lirik lagu yang menggema seiring pertemuan pertama kami setelah sepuluh tahun yang lalu, aku memberanikan diri memulai percakapan melalui pertanyaan paling basi, “kamu, apa kabar?”
Dia hanya tersenyum lalu menjawab seadanya
“Aku baik mas!” Jawabnya
“Sepertinya aku tak bisa lama disini” lanjutnya.
Benar saja, tidak berselang lama setelah itu kendaraan roda empat diparkir menepi, seorang pria turun seraya melambai padanya, pria tinggi dengan tatapan mata yang begitu teduh. Dia mengucap salam dan menjabat tanganku.
“Wa’alaikum salam.. ” jawabku. Semenjak itu aku mulai mengerti mungkin ini bukan lagi pertemuan pertama tapi juga cukup berpotensi untuk menjadi pertemuan terakhir.
Perempuan itu, dia yang sangat aku rindu, menyunggingkan senyum sebelum akhirnya meminta izin untuk pergi, senyum yang sama seperti ketika aku beranjak pergi sepuluh tahun lalu, tapi kali ini aku tak bisa berucap menunggu. Meski aku begitu ingin.
” But I’ll drink to a country song
Here’s to another work week gone
And I’ll raise my glass to a long lost buddy I ain’t seen.
I might stay for one more round
Or I might close this place down
But don’t think for a second I’ll have to drown your memory
Baby you ain’t worth the whiskey.
It don’t matter what your friends say
They never liked me anyway
So if they see me drunk in this bar
It ain’t over a broken heart”
Lirik lagu yang sedang diputar itu hanya terdengar lamat-lamat kali ini. Tak ku hiraukan apa yang disampaikan oleh liriknya.
Aku melihatnya berlalu begitu saja, seraya berpegang pada tangan kanan pria itu. Dijari manisnya tersemat cincin yang nampak anggun ia kenakan. Juga pada lengan pria itu. Cincin pengikat janji. Bukan hanya sebatas janji untuk menunggu.
Sementara mereka mengucap salam nyaris bersamaan, lengan kananku refleks menyentuh dada. Menggenggam sekuat tenaga satu simbol yang menggantung didada itu. Salib. Seraya memejam menahan nyeri aku berujar menguatkan diri. “Tuhan selalu bersamaku”
Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari http://www.nulisbuku.com di Facebook dan Twitter @nulisbuku